Label itu bernama INDIGO

Dari sebuah tulisan di Komunitas Indigo

Pernahkah engkau mencari tahu eksistensi dan esensi tentang siapa engkau, kenapa engkau ada disini, dan untuk apa engkau disini? Dan ketika semua telah terjawab, dan kau memahami jalan yang harus kau tempuh, kemudian engkau malah menangisi hidup dan takdir yang harus engkau jalani? Pernahkah engkau tak dapat lagi memilih, karena satu-satunya pilihan adalah menjalani hal-hal tersebut?

Bertahun-tahun saya berkutat mencari dan mencari tentang eksistensi saya sebagai manusia, dan esensi mengapa saya diciptakan. Semua hal yang saya alami, semua hal yang saya jalani, saya mencoba menggali semakin dalam. Terus bertanya, Kenapa dan kenapa.

Sampai pada saat saya menemukan sebuah bentuk, yang merujuk pada satu label. Satu label yang mengacu pada purposes, missions, dan takdir yang harus saya jalani. Namun, siapa bilang itu menyenangkan?

Saya mencoba lari dari jawaban atas pencarian saya. Mencoba melawan kenyataan. Namun sia-sia. Semakin saya melawan, semakin saya menderita dan tersiksa. Yang saya inginkan cuma menjadi normal. Namun siapa sangka tidak ada parameter yang bisa dijadikan acuan normal atau tidak nya seseorang. Saya tetap kalah.

Saya dipaksa untuk terus menjalankan purposes, missions, dan takdir tersebut, tanpa bisa mengelak sedikit pun. Entah siapa yang menetapkan. Entah mengapa orang-orang seperti saya tetap tunduk. Sementara itu saya mulai terganggu oleh berbagai macam pertanyaan mengenai hal-hal tersebut. Apakah memang Tuhan yang menentukan semua, atau memang ada suatu kelompok dengan tujuan tertentu yang melegitimasi hal tersebut. Namun bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin saya dapat menjalankan apa yang saya tidak tahu, dan berasal dari mana?

Saya berjalan semakin jauh, merengkuh semakin dalam, dalam kepasrahan. Saya tetap saja kalah. Saya tersesat di jalan yang menjadi pilihan saya sendiri. Saya tersesat dalam label yang saya punya, yang saya sendiri tidak menginginkan nya.

Lalu siapa lagi yang dapat menolong? Saya tersesat didalam cahaya.

Berbagai macam label pernah diberikan kepada saya, merujuk kepada sifat-sifat dan sikap-sikap keseharian saya. Dari mulai yang negatif, sampai yang positif. Dari mulai label aneh, label hiperaktif, label pengkhayal, dan lain-lain. Saya sendiri, lebih suka menjadi diri saya sendiri. Pribadi seutuhnya. Tidak perduli apa yang mereka katakan.

Terkadang saya merasa terganggu oleh label-label yang mereka berikan terhadap saya. Membuat saya merasa ter-alienisasi. Terasingkan oleh lingkungan saya pada umumnya. Namun, siapa sangka diluar sana banyak yang seperti saya.

Sekuat mungkin saya berupaya untuk menjadi seperti mereka yang normal. Sekuat mungkin saya berusaha menyingkirkan label-label yang mereka berikan. Tapi tak lain, saat itu saya sebenarnya sedang membunuh karakter saya sendiri. Berusaha menjadi yang lain, mengikuti ideal nya lingkungan yang mereka ciptakan.

Bertahun-tahun saya berkelahi dengan diri saya sendiri, mencari tau siapa saya sebenarnya. Sampai pada akhirnya, mereka mulai mengklaim kembali, bahwa orang-orang seperti saya bernama Indigo.

Saya sama sekali tidak merasa senang atas label terakhir yang mereka berikan kepada saya. Kenapa orang-orang seperti saya harus dilabelkan? Bukankah kita semua sama? Hanya seongok daging yang berjalan, beraktifitas, dan menamakan diri sebagai manusia? Lalu apa bedanya? Sifat dan karakter? Lalu kenapa harus berlabel? Memang nya label tersebut akan dibawa mati?

Dan lucunya, diluar sana justru ada banyak orang-orang yang menginginkan label ini. Berandai-andai dan menerka-nerka dengan harap, kalau-kalau mereka adalah orang seperti saya. Hah... Seandainya mereka tau. Beban berat seperti apa yang saya tanggung dan rasakan.

Banyak dari mereka menganggap saya aneh dan berbeda. Saya memang aneh. Tapi sejatinya, saya sama seperti manusia lain. Banyak dari mereka menganggap saya sakit. Ya, saya memang sakit. Namun saya merasa lebih sakit dengan label yang telah mereka berikan kepada saya.

Akhirnya, saya memaksa diri untuk menerima label ini. Sekian lama. Menebal-nebalkan kuping dan perasaan ketika ada selentingan-selentingan negatif karena lebel yang saya punya. Menyaman-nyamankan diri saya ketika satu-persatu mulai mengasingkan diri saya. Sekian lama.

Namun, sampai kapankah semua akan berakhir? Kapankah kami dapat menjadi sama dengan kalian? Menikmati semesta dan segala anugrah hidup yang DIA berikan. Mungkinkah?

Penulis : Dimas Respati

Comments

  1. kalo aku sih, bukan seorang Indigo
    meskipun begitu aku tetap bangga
    karena aku seorang intikalis :D

    ReplyDelete
  2. hei kita sama : )

    aku bahkan lebih berat lagi : )

    ReplyDelete

Post a Comment