Survive dari depresi karena husnudzon pada Allah

Ada yang percaya gak kalo aku dulu pernah depresi berat, tipis dengan rumah sakit jiwa katanya. Selama 15 tahun aku hidup hanya sekedar menjalani hidup, tidak menikmati. Karena kebetulan pas aku sekolah dan kuliah tipe yang aktif, banyak kegiatan, dan banyak yang mengenal aku soalnya beberapa kali jadi dirijen di upacara bendera sekolahan, gak ada yang percaya aku bisa depresi. Teman-teman lamaku membayangkan aku sudah jadi ibu rumah tangga, punya anak pintar-pintar dan cerdas, rumah bagus, mobil keren. Aku bukan tipe pemalu, banyak bergaul, banyak teman, dan sering minta ditemenin cowok nonton atau makan, dibayarin pula. Dulu looh...

Oke... 15 tahun yang absurd (emang absurd artinya apa siiih). Hidup tanpa makna, tanpa rasa. Pernah tinggal di Jakarta 9 tahun lalu di Bogor 6 tahun. Aku gak mau lagi menyalahkan orang lain, okelah, aku menyalahkan diriku sendiri. Menurut Al Qur'an semua kesulitan adalah perbuatan manusia itu sendiri. Salahku adalah, aku pernah beberapa kali ikut pesantren kilat tapi aku tidak mau belajar tafsir Al Qur'an dengan benar. Waktu itu aku di Muntilan malah sibuk jalan dengan cowok dari Semarang kalo gak salah. Namanya Hanif (dimana ya orangnya, masih inget aku gak ya, qiqiqiqi). Cuman jalannya rame-rame sebetulnya sih. Naik andong dari pinggiran Muntilan ke kota. Dan yang namanya Hanif ini dompetnya tebel amat yak. Pokoknya kita, aku dan adikku serta Hanif ini jajan melulu ke Muntilan.

Waktu sudah agak gedhean pesantren kilatnya di daerah Banteng, Jogja. Tapi aku bobok melulu saat pengkajian. Mencoba memahami juga gak ngerti-ngerti. Ya sudahlah, aku sibuk dengan ekstra kurikuler lain. Biasa, ngeband, paduan suara, sofbol, itu sudah cukup menguras waktu. Bila akan ada lomba paduan suara antar universitas latihan bisa tiap hari. Kalo mau ada pertandingan sofbol antar universitas, klub atau daerah, bisa latihan tiap hari juga. Kadang bisa bareng acaranya, aku lebih prioritaskan latihan sofbol.

Kejadian selama aku di Jakarta aku gak perlu bahas deh. Yang jelas aku sudah sampai titik depresi. Kata temen-temenku kalo aku jalan dipanggil gak nyahut, pandangan kosong. Terus aku ke Bogor, konon ada yang berbaik hati mau membantu bikin aku sembuh. Ternyata malah tambah runyam. Orang ini malah sering kesurupan, dan menganggap barang yang dibelikan almarhum Bapak untukku adalah miliknya. Jadi aku balik ke Jogja, Juni 2009. Belum selesai di situ, diteror mau dibunuh oleh orang di Bogor ini, sampai sekarang aku belum pernah mendengarkan permintaan maafnya karena telah seenaknya meneror aku yang sudah resmi pisah.

Perkenalanku di dengan tafsir Al Qur'an adalah sejak di Bogor, tapi bukan karena seseorang ini, melainkan ajakan dari sepupuku yang bikin pengajian seminggu tentang tafsir Al Qur'an. Sejak saat itulah aku mencoba memahami sungguh-sungguh, walau awalnya rasanya bego banget dan kepalaku berkunang-kunang pas pulang. Gimana gak berkunang-kunang, dari jam 9 pagi sampe jam 4 sore seminggu sekali.

Setelah aku pulang, aku meneruskan dengan guru yang berbeda. Kebetulan di rumahku ada pengajian bapak-bapak pensiunan dosen yang dirintis oleh almarhum bapakku. Memang beda sekali ya, pengajian ibu-ibu dengan pengajian bapak-bapak, apalagi mereka pensiunan dosen. Mereka membawa buku catatan, dan banyak bertanya dengan pertanyaan yang menunjukkan mereka sungguh-sungguh mempelajari apa yang diberikan oleh pembicaranya. Sementara kalo di pengajian ibu-ibu pasti ada gurauan, duh bajunya cantik amat beli dimana, dibalas dengan oh, ini daganganku ntar aku bawain. Atau misalnya nanya, tasnya beli dimana, unik bentuknya, ntar jawabannya, beli di mall mana gitu. Yang namanya bapak-bapak kalo pengajian tidak pernah sekalipun membahas masalah baju atau asesoris yang dipakai.

Saat aku di Jogja, aku dipermudah oleh Allah, aku lupa kejadian sebelum Juni 2009. Ingat, tapi tidak ada ikatan emosional. Terus mulailah aku belajar menulis di blogku pemahaman tentang tafsir Al Qur'an. Dikomentarin orang blognya berat amat yak, ya sudah, dipisah ke blog lain. Terus terang aku sendiri masih bukan tipe yang memulai menulis dengan salam, mengakhiri dengan salam juga. Terlalu terburu-buru ingin menyampaikan yang ada di kepala. Tapi kalo aslinya, dunia nyata, aku banyak mengucap Asalamualaikum. Bukan lulusan pesantren, tidak bisa berbahasa Arab, bukan orang yang pandai membaca Al Qur'an dengan nada indah, bukan orang yang hapal juz amma. Hapalan surat pendekku terbatas, kalah sama anak-anak. Mencoba menghapal kok susah, lupa-lupa melulu.

Jadi kutebus semua kelalaianku karena dulu kesempatan untuk belajar tentang Al Qur'an kusia-siakan. Sekarang aku mencoba memahami dan menyampaikan tafsir Al Quran dari orang yang sudah ahli. Walaupun hanya apa adanya, tentunya masih banyak kesalahan sana sini.

Aku ingin menjadi seperti yang pernah dijelaskan oleh Quraish Shihab, bahwa hanya ada sekelompok kecil di dunia ini yang selalu mencoba menyampaikan kebenaran ajaran Islam dari firman Allah. Supaya tidak keliru aku masih banyak belajar dari orang yang lebih pandai, yang menguasai bahasa Arab.

Banyak rintangan yang jelas. Soalnya ternyata apa yang tertera di Al Qur'an banyak dilanggar oleh sebagian besar manusia. Misalnya agar menjalankan shalat lima waktu, nyatanya gak sampe 5 persen temen-temenku yang kukenal menjalankan shalat 5 waktu. Pernah waktu itu ada acara makan-makan dengan 20 orang, yang shalat di mushola rumah makan itu hanya aku.

Dengan berprasangka baik pada Allah, aku bisa merasa bahagia lagi, karena aku yakin, kejadian menyakitkan adalah untuk kebaikanku. Agar aku belajar dari kejadian menyenangkan dan menyakitkan. Aku sudah sampai di titik dengan pemahaman dimana kehidupan di dunia ini senda gurau saja, hanya sesaat, kita bebas bercanda asal bukan tentang agama sajalah. Hatiku sudah kutautkan pada Allah, dan kadang suka ketawa kalo abis melewati kejadian mengejutkan. Abis ini mikir, oh, ada apalagi ya yang lebih mengejutkan dari ini. Semoga apapun kejadiannya aku bisa selalu berprasangka baik pada Allah...

Comments

Post a Comment