Tentang anak

Biarpun aku banyak belajar tentang memotivasi hidupku sendiri, tentunya aku pernah galau juga. Pernah capek. Tapi aku berusaha gak lama-lama memendam rasa emosi itu.

Paling sensi adalah ngebahas anak-anakku. Kalo mendengar cerita-cerita ibu lain yang cerita gimana kedekatannya dengan anaknya, aku cuman bisa bilang anak-anakku kutitipkan pada Allah.

Misalnya ini pembicaraanku dengan seseorang temanku yang mengaku pemerhati anak, mengkoleksi tabloid Nakita dan paham benar bagaimana cara mendidik anak. Sepintas pembicaraanku dengan temanku dengan sedikit perubahan tidak merubah makna.

A (Aku), T (Teman)

T : Jadi begini loh, anak yang aktif itu justru anak yang pintar. Biarpun mereka ngacak-ngacak barang itu tanda mereka pintar

A : Aku punya anak 5, mereka semua gak banyak tingkah tapi pinter kok juara kelas

T : Anak-anakmu itu pasif semua, malah gak menyenangkan

A : Mereka anak yang sopan, bila bertamu bisa duduk manis, bila ingin sesuatu mengucapkan tolong, bila sungkan bicara maaf

T : Anak-anakku aktif semua, dan aku bangga dengan mereka. Biarlah mereka mengeksplorasi lingkungan

A : Di SMS hapeku, anak-anakku selalu pake kata maaf sebelum minta sesuatu. Gak kayak SMS palsu itu kalo SMS anak-anakku pasti kalimatnya "maaf bu, minta pulsa ya"

T : menurutku anak yang pintar adalah anak yang aktif...

A : (diem)

...

Karena emosi sampai ubun-ubun, sensi banget dengan masalah ini. Akhirnya aku sampaikan ke temenku yang lain, juga pemerhati pendidikan anak.

A (Aku), K (Kawan)

A : apa iya anak pinter hanya yang aktif, waktu seminar EQ kemarin, anak sukses anak yang bisa menahan diri dari MARSHMALLOW TEST

K : anak pinter yang aktif itu adalah yang aktifnya terkontrol, bukan merusak. Sudah rahasia umum putra dari ibu T itu aktifnya merusak
...

Hal yang sangat aku syukuri adalah anak-anakku sehat, bahagia, punya teman-teman yang baik, nilai-nilai di sekolah cukup baik walau jauh dari aku. Tentunya punya keinginan untuk dekat dengan mereka, bisa mensupport mereka, apa boleh buat situasi belum sepenuhnya mendukung. Anak-anak yang sudah besar, seperti anak-anakku yang remaja, SMP atau SMA, kenyataannya menurut psikolog anak memang sudah bukan milik orang tua lagi. Mereka sudah punya teman sendiri, keinginan sendiri, selera bajunya sendiri. Berbeda bila saat balita baju dipilihkan orang tua, makan disuapin, waktu bayi ditaruh di kereta bayi, setelah agak besar ditaruh di stroller lipat, dibawa kemana-mana.

Faktor keuangan dan kesibukan kerja membuat aku jarang menengok anak-anakku. Tapi aku masih bisa bahagia melihat mereka ribut di Facebook atau Twitter  dengan tingkah polahnya. Dan aku membatin... ibu sedang sekolah kehidupan anak-anakku...

Comments

  1. banyak juga ya mbak ami anaknya sudah 5 :)

    ReplyDelete

Post a Comment